Newspers.com – Agus Buntung yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual terhadap 15 perempuan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Diketahui, Kini Agus buntung telah menggandeng 18 pengacara untuk membelanya dalam kasus yang ditangani Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

“Demi membuktikan dalihnya itu, Agus kini menggaet 18 pengacara sekaligus, ” ucap Aminuddin, kuasa hukum Agus, Selasa (10/12/2024).

Aminuddin menyatakan, dirinya bersama 17 anggota tim kuasa hukum lainnya siap membela Agus.

Pihaknya telah menyiapkan upaya pembelaan dengan bukti-bukti yang kuat.

Agus Buntung telah menjalani rekonstruksi di 3 tempat yaitu Taman Udayana, Islamic Center dan Nang’s Homestay di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Diduga tersangka Agus buntung telah melecehkan 15 orang dan tiga di antaranya anak di bawah umur.

Berdasarkan pengakuan tersangka dalam pemeriksaan di Polda NTB, tersangka dan korban ada kesepakatan untuk melakukan hubungan seksual.

“Jadi Agus merasa tidak pernah memaksa, apalagi korban ini mengaku bahwa dialah yang membonceng Agus menuju ke homestay dan membayar kamar,” kata Aminuddin, kuasa hukum Agus, Selasa (10/12/2024), dikutip dari Tribun Lombok.

Menurut Aminuddin, alasan korban melapor karena uang yang digunakan untuk membayar kamar tak dikembalikan oleh Agus.

Diketahui, Agus saat itu mengaku tidak memiliki uang, sehingga ada perjanjian tersangka akan menggantikan uang korban.

“Lalu, karena uang untuk membayar kamar itu tidak dikembalikan Agus, maka Agus dilaporkan,” ujarnya.

“Sebelum diantar ke kampus di depan ada adegan mesum oleh orang lain, si perempuan mengatakan bagusnya adegan yang tadi,” kata Aminudin.

Sebelumnya, Agus bercerita, mulanya ia meminta bantuan seorang perempuan untuk diantarkan ke kampus, namun Agus diturunkan di home stay.

“Saya ceritain setelah saya sampai home stay itu, dia yang bayar, dia yang buka pintu, terus tiba-tiba dia yang bukain baju dan celana saya,” kata Agus, Minggu (1/12/2024).

Pria yang tak memiliki kedua tangan itu tak berdaya dan datang lagi seorang perempuan ke kamar.

“Tapi yang membuat saya tahu kasus ini jebakan pas dia nelpon seseorang, di situ saya nggak berani mau ngomong apa. Saya merasa ini jebakan, karena ini ke sana kemari saya dituduh,” bebernya.

Agus mengaku tak dapat melakukan aktivitas seperti manusia normal namun dituding melakukan kekerasan seksual.

“Coba dipikirkan bagaimana saya melakukan kekerasan seksual sedangkan bapak ibu lihat sendiri (nggak punya tangan), didorong aja saya, atau jangan diantar saya, atau ditinggal aja saya,” ungkapnya.

Meski perempuan tersebut tak mengancamnya Agus tak berani berteriak dan melakukan perlawanan.

“Nggak ada diancam sama perempuan secara fisik, saya diam saja selama di dalam homestay, saya takut buat teriak karena sudah telanjang, saya yang malu kalau saya teriak,” pungkasnya.

Sementara itu, Dir Reskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, mengatakan mahasiswi yang mengaku menjadi korban rudapaksa tak mengenal Agus.

Mereka tak sengaja bertemu di Teras Udayana, Mataram pada  7 Oktober 2024 lalu.

Awalnya, Agus mengajak korban mengobrol dan tak sengaja melihat aksi mesum di taman.

Korban kemudian menangis dan membongkar aibnya pernah berbuat asusila dengan lawan jenis.

“Pelaku menyampaikan kepada korban, kamu (korban) berdosa, kamu harus disucikan, kamu harus mandi kalau tidak aibmu akan saya bongkar dan sampaikan kepada orang tuamu,” tuturnya, Senin (2/12/2024).

Dalam keadaan terancam, korban mengiyakan ajakan Agus pergi ke sebuah homestay di Mataram.

“Sampai kamar korban tetap menolak, lagi lagi pelaku mengancam akan membuka aib korban,” lanjutnya.

Meski tak memiliki kedua tangan, Agus merudapaksa korban yang merasa tertekan.

Di sisi lain, praktisi Hukum dan Akademisi, Sigit Nugroho Sudibyanto, mengatakan, penyandang disabilitas tak serta merta terbebas dari tanggung jawab hukum atas perbuatannya.

Sigit menjelaskan, berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, proses hukum pidana bagi penyandang disabilitas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

Dalam jalannya proses hukum, memang ada hak-hak dan ketentuan khusus bagi penyandang disabilitas, seperti kemudahan akses dalam setiap tingkat pemeriksaan pada lembaga penegak hukum.

Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua penyandang disabilitas bisa bebas dari ancaman dan jeratan hukuman atas perbuatannya.

Ia mengatakan, mereka yang tak bisa dijatuhi pidana atau bisa disebut tidak cakap hukum adalah penyandang disabilitas mental, psikologi atau motorik.

“Secara fisik kita lihat dia memang memiliki kekurangan, tidak memiliki lengan, tetapi apakah kemudian secara psikologi, mental dan motorik, pelaku ini bisa bertanggung jawab,” kata Sigit dalam program Talk Show Kacamata Hukum, Senin (9/12/2024).

“Ancaman hukumnya tetap pada umumnya, karena dalam perkara ini kan disabilitas fisik, kecuali kalau disabilitas mental, psikologi dan motorik,” lanjutnya.

Meski tak bisa dipidana, penyandang disabilitas mental yang berperkara masih bisa dilakukan tindakan lain, seperti pemulihan yang dilakukan lembaga penegak hukum.

Namun ia menegaskan, dalam mengklasifikasikan penyandang disabilitas itu, penyidik perlu penilaian yang mendalam.

“Setiap disabilitas pertanggung jawabannya beda, apalagi terhadap disabilitas mental dan psikologis ini tidak bisa dipidana, tetapi bisa dilakukan tindakan. Karena disabilitas mental ini dia tidak bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya, secara hukum dianggap tidak cakap hukum,” paparnya.